20 September 2008

Spiritual Anti Kekayaan ?

(Ananda Dimitri, Denpasar). Kawan saya, seorang Bali yang tinggal di Jakarta sejak dia lulus sarjana arsitektur, menganggap saya adalah orang yang tidak selaras. Dia menilai dari buku-buku bacaan saya. Saya tidak membaca novel atau buku-buku politik seperti yang disenanginya. Saya hanya membaca tiga jenis buku, yaitu tentang arsitektur, tentang spiritual dan tentang pengembangan diri agar hidup kaya. (Siapa pun yang punya tujuan ingin kaya dan bahagia patut dapat pujian).

Dia tidak memasalahkan buku-buku arsitektur saya karena itu memang berhubungan dengan profesi kami yang sama. Yang dianggap tidak selaras karena, di satu pihak ingin jadi orang yang spiritual sekaligus ingin jadi orang yang mengumpulkan banyak kekayaan. Saya jawab itu sama sekali tidak bertentangan, bahkan sangat selaras, tapi dia belum bisa percaya. Apa memang Spiritual anti Kekayaan?



Dalam The Richest Man Who Ever Lived, buku yang ditulis Steven K. Scott, menceritrakan prinsip-prinsip yang disampaikan Nabi Sulaiman agar menjadi kaya seperti Beliau. Sulaiman lahir sekitar 974 SM dan dijadikan raja oleh ayahnya, Nabi Daud. Raja Sulaiman (King Solomon, begitu judul filmnya saya tonton waktu kecil) terkenal adil bijaksana dan kaya raya. Mengenai kemuliaan hati Beliau tidak bisa diragukan lagi. Artinya, segala tindakan Beliau tentu berlandaskan spiritual yang tinggi. Lalu dimanakah letak rahasianya hingga Spiritual bisa berdampingan dengan Kekayaan secara sempurna demikian?

Disini saya juga mengutip dua buah Pasal dari Sarasamuscaya. Ijinkan saya menyertakan bahasa aslinya (dalam huruf latin) hanya untuk membuktikan itu memang ada tercantum disana. Saya hanya meyalin saja dari buku karena saya tidak pernah belajar bahasa tsb. Yakni Pasal 282 dan Pasal 283.

daridrasya manusyasya dusprajnasyadhanasya ca,
kale pyuktam hitam vakyam na kascit pratipadyate.

Artinya: Orang yang miskin itu biar pun ia pandai, tidak diindahkan segala yang dikatakannya walaupun tepat waktunya, tempatnya dan ucapannya sungguh-sungguh bermanfaat; apalagi jika si miskin itu bodoh, pasti tidak akan ada orang yang dengan senang mendengar kata-katanya.

santo pi na virajante luptarthasyetare gunah,
aditya iva bhutanam srirgunanam prakasika.

Artinya: Sebab yang disebut orang miskin itu meski ia itu banyak pengetahuannya (ia akan) tidak terkenal dan tidak sempurna tampak akan kebaikannya, karena kekayaan menyebabkan kebajikan itu menjadi sempurna kebaikannya, sebagai halnya matahari menerangi segala yang ada; matahari itulah yang menyebabkan segalanya itu kelihatan.

Nah perhatikan. Semua itu membuat kesimpulan bahwa sebenarnya kita lahir di dunia 'diwajibkan' agar bisa jadi kaya, lebih-lebih bila anda adalah seorang yang bijaksana. Perkataan anda yang bijaksana dan menuntun itu akan lebih didengar dan dilaksanakan oleh orang banyak. Asalkan kekayaan atau 'Artha' itu semuanya diperoleh harus berlandaskan 'Dharma'. Tapi ini saja belum menjamin Kekayaan yang telah anda miliki bisa selaras dengan Spiritual dalam jiwa anda. Lalu apakah ada syarat lainnya? Ada. Yaitu 'ketidak terikatan' pada kekayaan itu sendiri. O... itu, sejak dulu semua sudah tahu. Bahkan banyak buku menyebutkan kita tidak boleh terikat pada apapun. Itu pun semua tahu. Tapi bagaimana caranya sampai ke sana? Bagaimana mencapai ketidak terikatan itu? Itu adalah pertanyaan utama kita semua. Maka perlu ditinjau dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari satu dua cara melatih 'ketidak-terikatan' yang dimaksud.
Judul lukisan : Hampa Suara, oleh : Ananda Dimitri, acrylic diatas canvas, 50 X 50, (1994).
Skets : The creature and creatures, oleh : Ananda Dimitri, kertas folio kasar, (1998).

Tidak ada komentar: