27 Maret 2009

TUHAN YANG UNIVERSAL

Karena terlalu banyak duduk, akhir-akhir ini lutut saya makin lama makin sakit. Badan ini, yang saya andaikan sebuah mobil, umurnya sudah lama pakai. Oli pada komponen engsel lutut sudah kering sehingga tumbuh karat sekitarnya. Maka saya pikir sudah saatnya mobil diservice. Caranya: dengan menjogingkan badan ini. Dulu saya rajin ke Lapangan Renon yang sangat dekat dari rumah. Kemudian bosan dan setahun prei dikalahkan oleh kemalasan asli.

Jadi jogingnya ulang dari nol. Alias cukup jalan lenggang kangkung di atas trek lapangan bagian paling tengah sehingga jarak tempuhnya pendek saja, tahu dirilah. Sekali-sekali berhenti untuk memperhatikan anak-anak
main bola. Ada juga yang main pesawat terbang dengan propeler yang digerakkan tenaga karet dipelintir. Ternyata yang main pesawat bukan anak-anak. Kesimpulannya, umumnya laki-laki sampai tua pun gak pernah 'dewasa'.

Saya jalan lagi. Dan berhenti lagi karena tertarik melihat sekelompok orang sedang latihan yoga. Instrukturnya seorang laki-laki dan seorang perempuan. Keduanya berumur diatas 40 tetapi mempunyai badan yang sangat lentur seperti badan kita saat SMP/ SLTP. Saya perhatikan yang ikut latihan di atas matrasnya masing- masing, semua cukup lentur. Saking tertariknya maka saya duduk di kejauhan di belakang mereka untuk menonton lebih seksama. Segera ada keinginan untuk mendaftar ikut latihan, pasti akan cocok guna lenturkan otot-otot. Saya belum tahu apakah latihan pada kelompok ini berbayar atau gratis. Seandainya gratis, maka akan semakin cocok bagi kelenturan badan saya nantinya.

Saya terus menonton dan tidak ngeh seseorang mendekati saya. Ketika saya ngeh, saya perhatikan laki-laki itu membawa tas kresek berisi beberapa buku. Ada yang tebal dan ada yang tipis. Setelah membuka beberapa percakapan maka dia mulai menawarkan sebuah buku tebal. Saya katakan bahwa saya sudah punya buku Bhagavad-Gita tulisan Swami Prabhupada itu. Lalu dia menganjurkan saya ke suatu asram (disebutkan lokasinya, saya tidak begitu dengar) guna bisa lebih menghayati isi sloka-sloka dari buku tsb. Dengan lebih memperhatikan atributnya, segera saya tahu dia adalah pemuja Kresna. Jadi langsung saja saya bilang bahwa kita orang Hindu dalam memuja Tuhan tidak harus dalam manifestasi Kresna. Boleh dan bisa dalam Ciwa, Rama, Acintya, Ganesha dll. Bahkan dalam Brahman yang tanpa wujud bisa- bisa lebih utama. Kresna sendiri yang bersabda demikian dalam Bhagavad-Gita, dan semua sembah yang demikian akan bermuara pada Beliau juga, Tuhan YME. Seharusnya memang begitulah Tuhan Yang Universal itu. Demikian kataku yakin walaupun saya tahu pasti dia tidak sependapat. Melihat saya demikian yakin menyebabkan dia kehilangan minat untuk mendesakkan anjurannya lagi, maka segera dia permisi dari tempat itu.

Sesampainya saya di rumah, saya mencari buku tersebut yang saya beli beberapa tahun yang lalu. Saya ingat saat itu harganya mendekati seratus ribu rupiah. Tiba- tiba saya berniat untuk membacanya kembali. Ternyata buku yang saya miliki merupakan cetakan yang kelima (Tahun 2000), dan saya mulai buka lembar demi lembar.

Dan disinilah saya baru ngeh kalau semua 'penjelasan' untuk sloka- sloka dari buku versi Swami Prabhupada ini selalu menekankan bahwa pemujaan yang paling utama dan sempurna adalah yang ditujukan pada Sri Kresna sebagai Kepribadian Tuhan. Pemujaan melalui manifestasi Tuhan yang lain tidak akan mencapai kesempurnaan tertinggi. Dan hampir semua penjelasannya menutup peluang bagi manifestasi Tuhan dalam wujud lain. Berbeda dengan berbagai buku Bhagavad-Gita versi lain- lainnya yang mengemukakan Tuhan yang lebih Universal. Sloka- slokanya sama tetapi penjelasannya lebih terbuka dan universal.

Rupanya masalah inilah yang sempat dikritik oleh penulis Sankara Saranam dalam bukunya 'God Without Religion' yang mempertanyakan kembali tradisi yang diterima selama ini. Intinya, pemahaman Hindu tentang Tuhan yang demikian universal demikian baik, janganlah dibuatkan 'sekat- sekat' yang tajam sehingga bisa memecah belah.

Sankara Saranam meninjau seluruh agama yang ada di dunia sebagai suatu 'sistem keagamaan teroganisir' mempunyai kecendrungan memecah belah umat manusia. Saling merasa Agama dan Tuhannya paling benar. Agama lain menyembah Tuhan yang 'salah' sehingga boleh ditumpas dan dibunuh. Sejarah telah membuktikan ada beberapa perang akibat 'sistem keagamaan' yang ada. Padahal kita semua paham, Tuhan senantiasa mutlak Benar dan Suci, dengan sistem atau methode apa pun Beliau disembah/ dipuja. Kita perlu sering- sering mengadakan otokritik terhadap Agama kita masing-masing demi damainya umat manusia di planet bumi yang 'semakin kecil' ini.

Penulis tersebut mengajak bagaimana mencapai suatu perasaan Tuhan yang Universal, yang mempersatukan umat manusia. Menurut dia untuk memahami Tuhan yang Universal dapat dicapai secara intuitif melalui disiplin Samadi. Dia menganjurkan teknik Pranayama untuk mencapai keadaan Samadi. Adalah sulit mencapai pemahaman Tuhan yang Universal melalui ilmu pengetahuan atau memanfaatkan pikiran dan panca indera, katanya lagi.

Dan mengenai Yoga, ada pendapatnya yang menarik sehingga saya mengingatnya. Dalam berlatih Yoga dianjurkan jangan hanya melatih gerakan- gerakannya saja. Tapi harus disertakan melatih apa yang disebut 'Yogic'nya (disiplin mistik dalam Yoga). Yogic ini akan mengantar para yogawan ke dalam keadaan Samadi. Ujung-ujungnya berguna untuk mencapai pemahaman Tuhan yang Universal (Tat Wam Asi). Wah, mau ikut berlatih Yoga koq ternyata rumit ya. Membuat saya jadi ciut. Ah... kanggoang joging aja ah...

Judul lukisan: A Sad Story. Oleh: Ananda Dimitri. Acrylic on canvas. 60X70.
Judul: Kampung Nelayan dalam Api. Oleh: Ananda Dimitri. 50X50

Tidak ada komentar: